Saya dilahirkan di kota Medan, kota yang panas karena terletak di dataran rendah.kata temanku wajahku lumayan. Mereka bilang Saya hitam manis. Sebagai laki-laki, Saya juga bangga karena waktu SMA dulu Saya banyak memiliki teman-teman perempuan. Walaupun Saya sendiri tidak ada yang tertarik satupun di antara mereka. Sekarang Saya belajar di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Jakarta, mengambil jurusan ilmu perhotelan. Saya duduk di tingkat akhir. Sebelum berangkat dulu, orangtua Saya berpesan harus dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Maklum, keadaan ekonomi orangtua saya juga biasa-biasa saja, tidak kaya juga tidak miskin. Apalagi Saya juga memiliki 1 orang adik yang nantinya juga akan kuliah seperti Saya, sehingga perlu biaya juga. Saya camkan kata-kata orangtu Saya. Dalam hati Saya akan berjanji akan memenuhi permintaan mereka, selesai tepat pada waktunya.Sampai saat ini pun Saya masih belum dapat menyelesaikan studiku hanya gara-gara satu mata kuliah saja yang belum lulus, yaitu mata kuliah yang berhubugan dengan hitung berhitung. Walaupun sudah kuambil selama empat semester, tapi hasilnya belum lulus juga. Untuk mata kuliah yang lain Saya dapat menyelesaikannya, tapi untuk mata kuliah yang satu ini Saya benar-benar merasa kesulitan.
“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen pembimbing akademis..,” kata temanku Kenny ketika kami berdua sedang duduk-duduk dalam kamar kost. “Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu sendiri.” Kata Saya sambil menghisap rokok dalam-dalam. “Benar juga apa yang dikatakan beliau, Lim, semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Kenny sambil termangu, “Gini saja, Lim, kamu langsung saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau membantu.” kata Kenny.
Mendengar kata Kenny, seketika Saya langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu. Namanya Ibu Santi, umurnya kira-kira 32 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi banyak temanku begitu juga Saya mengatakan Ibu Sonya adalah dosen killer, banyak temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum saja Ibu Santi belum berkeluarga alias masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan sensitif.Siang itu Saya sudah duduk di kantin kampus dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang menyala di tanganku. Sebelum bertemu Ibu Santi Saya sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti Saya akan gugup menghadapinya, Saya akan menenangkan diri dulu beberapa saat. Tanpa Saya sadari, tiba-tiba Andi sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku, sesaat Saya kaget dibuatnya.“Ayo Lim, Sudah waktunya. Bu Santi kulihat tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak mengajar, temuilah!” bisik Kenny di telinga Saya. “Oke-oke..,” Kata Saya singkat sambil berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kuambil permen dalam saku Saya, kutarik dalam-dalam nafasku. Saya langsung melangkahkan kaki pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana Saya harus menghadapai Ibu Santi, dosen killer yang masih sendiri itu.Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!” Saya langsung masuk, kulihat Bu Santi sedang duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu pelan-pelan. Kulihat Bu Santi memandangku sambil tersenyum, sesaat Saya tidak menyangka beliau tersenyum ramah pada Saya. Sedikit demi sedikit Saya mulai dapat merasa tenang, walaupun masih ada sedikit rasa gugup di hatiku.“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu bantu..?” Bu Santi langsung mempersilakan Saya duduk, sesaat Saya terpesona oleh kecantikannya. Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi pelan-pelan, kemudian Saya duduk. “Oke, Halim, ada apa ke sini, ada yang bisa Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Santi menanyakan hal itu kepada Saya dengan senyumnya yang masih mengembang. Perlahan-lahan kuceritakan masalahku kepada Bu Santi, mulai dari keinginan orangtua yang ingin Saya agak cepat menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini Saya belum dapat menyelesaikannyaKulihat Bu Santi dengan tekun mendengarkan cerita Saya sambil sesekali tersenyum kepada Saya. Melihat keadaan yang demikian Saya bertambah semangat bercerita, sampai pada akhirnya dengan spontan Saya berkata, “Apa saja akan kulakukan Bu Santi, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini. Mungkin suatu saat membantu Ibu membersihkan rumah, contohnya mencuci piring, mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun Saya akan lakukan demi agar mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan nilai mata kuliah Ibu pada saya.”Mendengar kejujuran dan perkataanku yang polos itu, kulihat Bu Santi tertawa kecil sambil berdiri menghampiriku. Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Santi sudah berdiri di belakangku, ketika itu Saya masih duduk di kursi sambil termenung. Sejenak Bu Sonya memegang pundakku sambil berbisik di telinga Saya. “Apa saja kan halim..?” Saya mengangguk sambil menunduk, saat itu Saya belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja, Bu Santi sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut. Bu Santi tiba-tiba saja sudah duduk di pangkuanku, merangkul kepala Saya, kemudian melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat itu Saya tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan Bu Santi memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai mengencang.Saya tersadar,“Bu, haruskah kita..” Sebelum Saya menyelesaikan ucapanku, telunjuk Bu Santi sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk diam. “Sudahlah, inilah yang Ibu inginkan..” Setelah berkata begitu, kembali Bu Santi melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku untuk tetap meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Santi yang menggairahkan dan ucapannya yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat menggebu-gebu dan panas. Saya membalas melumat bibirnya yang indah merekah sambil kedua tanganku terus meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu Santi turun ke bawah perutku, kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Santi, secara reflek pula Saya mulai membuka satu-persatu kancing baju Bu Santi sambil terus bibirku melumat bibirnya.Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin memuncak, kulihat kedua payudara Bu Santi yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang putih dan indah. Kudengar suara Bu Santi yang mendesah-desah merasakan kenikmatan yang kuberikan. Kedua tangan Bu Santi mengelus-elus dada Saya yang bidang. Lama Saya menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.
“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen pembimbing akademis..,” kata temanku Kenny ketika kami berdua sedang duduk-duduk dalam kamar kost. “Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu sendiri.” Kata Saya sambil menghisap rokok dalam-dalam. “Benar juga apa yang dikatakan beliau, Lim, semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Kenny sambil termangu, “Gini saja, Lim, kamu langsung saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau membantu.” kata Kenny.
Mendengar kata Kenny, seketika Saya langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu. Namanya Ibu Santi, umurnya kira-kira 32 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi banyak temanku begitu juga Saya mengatakan Ibu Sonya adalah dosen killer, banyak temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum saja Ibu Santi belum berkeluarga alias masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan sensitif.Siang itu Saya sudah duduk di kantin kampus dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang menyala di tanganku. Sebelum bertemu Ibu Santi Saya sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti Saya akan gugup menghadapinya, Saya akan menenangkan diri dulu beberapa saat. Tanpa Saya sadari, tiba-tiba Andi sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku, sesaat Saya kaget dibuatnya.“Ayo Lim, Sudah waktunya. Bu Santi kulihat tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak mengajar, temuilah!” bisik Kenny di telinga Saya. “Oke-oke..,” Kata Saya singkat sambil berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kuambil permen dalam saku Saya, kutarik dalam-dalam nafasku. Saya langsung melangkahkan kaki pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana Saya harus menghadapai Ibu Santi, dosen killer yang masih sendiri itu.Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!” Saya langsung masuk, kulihat Bu Santi sedang duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu pelan-pelan. Kulihat Bu Santi memandangku sambil tersenyum, sesaat Saya tidak menyangka beliau tersenyum ramah pada Saya. Sedikit demi sedikit Saya mulai dapat merasa tenang, walaupun masih ada sedikit rasa gugup di hatiku.“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu bantu..?” Bu Santi langsung mempersilakan Saya duduk, sesaat Saya terpesona oleh kecantikannya. Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi pelan-pelan, kemudian Saya duduk. “Oke, Halim, ada apa ke sini, ada yang bisa Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Santi menanyakan hal itu kepada Saya dengan senyumnya yang masih mengembang. Perlahan-lahan kuceritakan masalahku kepada Bu Santi, mulai dari keinginan orangtua yang ingin Saya agak cepat menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini Saya belum dapat menyelesaikannyaKulihat Bu Santi dengan tekun mendengarkan cerita Saya sambil sesekali tersenyum kepada Saya. Melihat keadaan yang demikian Saya bertambah semangat bercerita, sampai pada akhirnya dengan spontan Saya berkata, “Apa saja akan kulakukan Bu Santi, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini. Mungkin suatu saat membantu Ibu membersihkan rumah, contohnya mencuci piring, mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun Saya akan lakukan demi agar mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan nilai mata kuliah Ibu pada saya.”Mendengar kejujuran dan perkataanku yang polos itu, kulihat Bu Santi tertawa kecil sambil berdiri menghampiriku. Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Santi sudah berdiri di belakangku, ketika itu Saya masih duduk di kursi sambil termenung. Sejenak Bu Sonya memegang pundakku sambil berbisik di telinga Saya. “Apa saja kan halim..?” Saya mengangguk sambil menunduk, saat itu Saya belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja, Bu Santi sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut. Bu Santi tiba-tiba saja sudah duduk di pangkuanku, merangkul kepala Saya, kemudian melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat itu Saya tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan Bu Santi memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai mengencang.Saya tersadar,“Bu, haruskah kita..” Sebelum Saya menyelesaikan ucapanku, telunjuk Bu Santi sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk diam. “Sudahlah, inilah yang Ibu inginkan..” Setelah berkata begitu, kembali Bu Santi melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku untuk tetap meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Santi yang menggairahkan dan ucapannya yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat menggebu-gebu dan panas. Saya membalas melumat bibirnya yang indah merekah sambil kedua tanganku terus meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu Santi turun ke bawah perutku, kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Santi, secara reflek pula Saya mulai membuka satu-persatu kancing baju Bu Santi sambil terus bibirku melumat bibirnya.Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin memuncak, kulihat kedua payudara Bu Santi yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang putih dan indah. Kudengar suara Bu Santi yang mendesah-desah merasakan kenikmatan yang kuberikan. Kedua tangan Bu Santi mengelus-elus dada Saya yang bidang. Lama Saya menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.
Akhirnya kulepaskan kancingnya BHnya, setelah lepas kubuang BH ke samping. Saat itu Saya benar-benar dapat melihat dengan utuh kedua payudara yang mulus, putih dan mengencang hebat, menonjol serasi di dadanya. Kulumat putingnya dengan mulutku sambil tanganku meremas-remas payudaranya yang lain. Puting yang menonjol indah itu kukulum dengan penuh gairah, terdengar desahan nafas Bu Santi yang semakin menggebu-gebu. “Oh.., oh.., Halim.. teruskan.., teruskan Halim..!” desah Bu Santi dengan pasrah dan memelas. Melihat kondisi seperti itu, kejantananku semakin memuncak. Dengan penuh gairah yang mengebu-gebu, kedua puting Bu Santi kukulum bergantian sambil kedua tanganku mengusap-usap punggungnya, kedua puting yang menonjol tepat di wajahku. Payudara yang mengencang keras.
Sambil berbisik Bu Santi berkata, “Angkat Saya ke atas meja Halim.., ayo angkat Saya..!” Spontan kubopong tubuh Bu Santi ke arah meja, kududukkan, kemudian dengan reflek Saya menyingkirkan barang-barang di atas meja. Map, buku, pulpen, kertas-kertas, semua kujatuhkan ke lantai dengan cepat, untung lantainya memakai karpet, sehingga suara yang ditimbulkan tidak terlalu keras.
Tangan Bu Santi langsung meraba tali pinggang, membuka pengaitnya, kemudian membuka celana Saya dan menjatuhkannya ke bawah. Spontan Saya segera membuka celana dalamku, dan melemparkannya ke samping. Kulihat Bu Santi tersenyum dan berkata lirih, “Wahhhh... betapa jantannya kamu.. kemaluanmu begitu panjang dan besar.. Oh.. halim, Saya sudah tak tahan lagi untuk merasakannya.” Saya tersenyum juga, kuperhatikan tubuh Bu Sonya yang setengah telanjang itu.
Kemudian kurebahkan tubuhnya di atas meja dengan posisi Saya berdiri di antara kedua pahanya yang telentang dengan rok yang tersibak sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus, kuciumi payudaranya, kulumat putingnya dengan penuh gairah, sambil tanganku bergerilya di antara pahanya. Saya memang menginginkan pemanasan ini agak lama, kurasakan tubuh kami yang berkeringat karena gairah yang timbul di antara Saya dan Bu Santi. Kutelusuri tubuh Bu Sonya yang setengah telanjang dan telentang itu mulai dari perut, kemudian kedua payudaranya yang montok, lalu leher. Kudengar desahan-desahan dan rintihan-rintihan pasrah dari mulut Bu SantiSeketika Bu Santi menyuruhku untuk membuka roknya, perlahan-lahan kubuka kancing pengait roknya, kubuka restletingnya, kemudian kuturunkan roknya, lalu kujatuhkan ke bawah. Setelah itu kubuka dan kuturunkan juga celana dalamnya. Seketika hasrat kelelakianku semakin menggebu-gebu demi melihat tubuh Bu Sonya yang sudah telanjang bulat, tubuh yang indah dan seksi, dengan gundukan daging di antara pahanya yang ditutupi oleh rambut yang begitu rimbun. Terdengar Bu Santi berkata pasrah, “Ayolah .., apa yang kau tunggu..? Ibu sudah tak tahan lagi.”Kurasakan tangan Bu Santi menggenggam kemaluanku, menariknya untuk lebih mendekat di antara pahanya. Saya mengikuti kemauan Bu Santi yang sudah memuncak itu, perlahan tapi pasti kumasukkan kemaluanku yang sudah mengencang keras layaknya milik kuda perkasa itu ke dalam vaginanya. Kurasakan milik Bu Santi yang masih agak sempit. Akhirnya setelah sedikit bersusah payah, seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam vagina Bu Sonya. Terdengar Bu Santi merintih dan mendesah, “Oh.., oh.., .. terus Halim.. jangan lepaskan .. Saya mohon..!” Tanpa pikir panjang lagi disertai hasratku yang sudah menggebu-gebu, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur dengan posisi Bu Santi yang telentang di atas meja dan Saya berdiri di antara kedua pahanya.
Mula-mula teratur, seirama dengan goyangan-goyangan pantat Bu Santi. Sering kudengar rintihan-rintihan dan desahan Bu Santi karena menahan kenikmatan yang amat sangat. Begitu juga Saya, kuciumi dan kulumat kedua payudara Bu Santi dengan mulutku. Kurasakan kedua tangan Bu Santi meremas-remas rambutku sambil sesekali merintih, “Oh.. . oh.. .. jangan lepaskan Halim, kumohon..!” Mendengar rintihan Bu Santi, gairahku semakin memuncak, goyanganku bertambah ganas, kugerakkan kedua pantatku maju-mundur semakin cepat. Terdengar lagi suara Bu Santi merintih, “Ahhhh .. Halimm.. kamu memang perkasa.., kau memang jantan.. Halim.. Saya mulai keluar.. oh..!” “Ayolah Bu.., ayolah kita mencapai puncak bersama-sama, Saya juga sudah tak tahan lagi,” keluhku.Setelah berkata begitu, kurasakan tubuhku dan tubuh Bu Santi mengejang, seakan-akan terbang ke langit tujuh, kurasakan cairan kenikmatan yang keluar dari kemaluanku, semakin kurapatkan kemaluanku ke vagina Bu Santi. Terdengar keluhan dan rintihan panjang dari mulut Bu Santi, kurasakan juga dada Saya digigit oleh Bu Santi, seakan-akan menahan kenikkmatan yang amat sangat. “Oh.. Halimm.. oh.. oh.. oh..” Setelah kukeluarkan cairan dari kemaluanku ke dalam vagina Bu Santi, kurasakan tubuhku yang sangat kelelahan, kutelungkupkan badanku di atas badan Bu Santi dengan masih dalam keadan telanjang, agak lama Saya telungkup di atasnya.Kudengar Bu Santi berkata, “Selama kamu masih belum wisuda, tetaplah menjadi teman dan kekasih Ibu. Apa pun permintaanmu kupenuhi, uang, nilai mata kuliahmu agar lulus, semua akan Ibu penuhi, mengerti kan Halim..?” Selain melihat kesendirian Bu Santi tanpa ada laki-laki yang dapat memuaskan hasratnya, Saya pun juga mempertimbangkan kelulusan nilai mata kuliahku. Akhirnya Saya pun bersedia menerima tawarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar